SINOPSIS
NEGERI LIMA MENARA
Penulis : A. Fuadi
Alif menyangka dan tak
percaya bisa menjadi seperti sekarang ini. Pemuda asal Desa Bayur,
Maninjau, Sumatera Barat itu adalah pemuda desa yang diharapkan bisa
menjadi seorang guru agama seperti yang diinginkan kedua orangtuanya.
Keinginan kedua orangtua Alif tentu saja tidak salah. Sebagai “amak”
atau Ibu kala itu, menginginkan agar anak-anaknya menjadi orang yang
dihormati di kampung seperti menjadi guru agama.
“Mempunyai anak yang
sholeh dan berbakti adalah sebuah warisan yang tak ternilai, karena bisa
mendoakan kedua orangtuanya mana kala sudah tiada,” ujar Alif mengenang
keinginan Amak di kampung waktu itu.
Namun ternyata Alif
mempunyai keinginan lain. Ia tak ingin seumur hidupnya tinggal di
kampung. Ia mempunyai cita-cita dan keinginan untuk merantau. Ia ingin
melihat dunia luar dan ingin sukses seperti sejumlah tokoh yang ia baca
di buku atau mendengar cerita temannya di desa. Namun, keinginan Alif
tidaklah mudah untuk diwujudkan. Kedua orangtuanya bergeming agar Alif
tetap tinggal dan sekolah di kampung untuk menjadi guru agama. Namun
berkat saran dari ”Mak Etek” atau paman yang sedang kuliah di Kairo,
akhirnya Alif kecil bisa merantau ke Pondok Madani, Jawa Timur. Dan,
disinilah cerita kemudian bergulir. Ringkasnya Alif kemudian berkenalan
dengan Raja, Atang,Dulmajid, Baso dan Said.
Keenam
bocah yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Madani ini setiap sore
mempunyai kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib berkumpul di bawah
menara masjid sambil melihat ke awan. Dengan membayangkan awan itulah mereka melambungkan impiannya. Misalnya Alif mengaku
jika awan itu bentuknya seperti benua Amerika, sebuah negara yang ingin ia
kunjungi kelak lulus nanti. Begitu pula lainnya menggambarkan awan itu seperti
negara Arab Saudi, Mesir dan Benua Eropa.
Namun salah satu dari keenam bersahabat
tersebut yaitu Baso terpaksa harus keluar dari pesantren. Ia meninggalkan Pondok Madani saat kelas lima untuk menjaga neneknya dan
berusaha menghafal Al-Qur`an di kampung halamannya.
Melalui lika liku kehidupan di pesantren yang
tidak dibayangkan selama ini, ke enam santri itu digambarkan bertemu di London,
Inggris beberapa tahun kemudian. Dan, mereka kemudian bernostalgia dan saling
membuktikan impian mereka ketika melihat awan di bawah menara masjid Pondok
Pesantren Madani, Jawa Timur.
Belajar di pesantren bagi Alif ternyata
memberikan warna tersendiri bagi dirinya. Ia yang tadinya beranggapan bahwa
pesantren adalah konservatif, kuno, ”kampungan” ternyata adalah salah besar. Di
pesantren ternyata benar-benar menjujung disiplin yang tinggi, sehingga
mencetak para santri yang bertanggung jawab dan komitmen. Di pesantren mental
para santri itu ”dibakar” oleh para ustadz agar tidak gampang menyerah. Setiap
hari, sebelum masuk kelas, selalu didengungkan kata-kata mantera ”Manjadda
Wajadda” jika bersungguh-sungguh akan berhasil.